Thursday, April 29, 2010

q and adek2

Refleksi 20 tahun kelahiran seorang anak muda

Refleksi 20 tahun kelahiran seorang anak muda
 
30 april 1990 adalah hari bersejarah bagi ku, dan orang tuaku. Saat itu pula orang tua ku amat bahagia dengan lahirnya seorang anak perempuan yang dititipkan Tuhan untuk mereka kasihi dengan penuh cinta. Seorang anak perempuan yang menjadi harapan besar orang tua kelak jika dia sudah beranjak dewasa.
Kini anak perempuan itu sudah beranjak dewasa, bahkan sudah hampir mencapai kematangan dari segi fisik maupun fikir. Wajar saja, kini usianya sudah berkepala dua. Usia yang saya fikir bukan lagi saatnya untuk bermain-main dan bermanja-manja. Bukan lagi hal yang mustahil dia harus mampu menjadikan keberadaannya dimuka bumi ini memiliki kebermanfaatan bagi sekitarnya..
Berangkat dari kesadaran usia yang tidak lagi remaja bahkan kanak-kanak, kini anak muda itu tengah bergegas untuk mulai sadar bahwa dia harus bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk agama dan bangsanya. Rasanya usia yang tak lagi remaja, anak muda ini belum merasakan adanya kontribusi nyata yang dia berikan kepada masyarakat. Belum ada karya monumental yang mampu dia hasilkan, belum ada suatu hal yang dia lakukan yang kelak akan mampu menjadi warisan sejarah peradaban yang mampu dia goreskan. Seperti syekh hasan al banna di usianya yang masih muda beliau telah mampu menggugah hati insan bernurani lewat kumpulan tulisan-tulisannya yang penuh makna, ataupun seorang faiz kecil yang telah mampu menelurkan berbagai karya diusianya yang masih belia.
Hem..., alangkah malunya anak muda ini yang belum menghasilkan apa-apa.  
Semoga anak muda ini segera bergegas untuk menyadarkan dirinya untuk mulai melakukan sesuatu. Sesuatu yang kecil tapi kontinu, tapi juga tak boleh terlalu lambat. Semoga anak muda ini selalu mengupgrade kapasitas dirinya agar nantinya tak hanya lagi mampu menjadi seorang agent of change (sebagaimana fungsinya menjadi seorang mahasiswa) tapi mampu menjadikan dirinya sebagai direct of change.
                                                                                                    
                                                                                                      Ditulis ditengah temaram lampu kamar
                                                                                                                Al barokah, 30 April 2010
                                                                                                                             At 3am

Monday, April 26, 2010

*MENGALIR MENITI OMBAK*

(Catatan atas buku MAMK: SHPP)[1] <#_ftn1>**





Beberapa waktu yang lalu, saya jalan-jalan ke Gramedia, Bandung Super Mall.
[Biasa jadwal kunjungan pekanan]. Pada awalnya hanya ingin jalan-jalan,
menghilangkan kepenatan setelah melaksanakan rutinitas yang sering saya
anggap sebagai aktivitas “sok sibuk”. [Saya juga terpenatkan karena setiap
hari bertemu dengan “adik-adik diskusi” saya: *Akhi* Acep SM (Ketua
Departemen Kaderisasi KAMDA Bandung 2008-2010), *Akhi* Edi Mardiana (Pjs
Ketua Umum KAMDA Sumedang 2010) dan *Akhi* Yodivalno Ikhlas (Ketua
Departemen Pengembangan Masyarakat KAMDA Bandung 2008-2010). Penat, bukan
karena mereka menjadi asap seperti asap kebakaran hutan di Kalimantan karena
di bakar para penjahat hutan. Bukan juga seperti terpenatnya masyarakat
Bandung melihat kemacetan Kota Bandung. Sama sekali bukan seperti itu. Yang
membuat saya terkadang menjadi “penat” adalah karena diskusi dan obrolan
mereka; “adik-adik diskusi”. Diskusi yang mereka bangun terkadang seperti
asap. “Terbang ke mana-mana.” Karena mereka mendiskusikan berbagai macam
hal. Benar-benar aneh. Obrolan tentang pulsa bisa berujung pada ide mengenai
perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tak sejalan dengan
nurani rakyat. [Rakyat yang konon sudah dianggap saudara sekandung mereka.]
Obrolan seputar kuliah bisa berujung pada mimpi mengenai bagaimana menata
rumah tangga, dan seterusnya. Kadang humor yang dibangun juga sering membuat
kader-kader KAMMI dari berbagai daerah dan kampus—ketika bertemu atau
berdiskusi dengan mereka—jadi bingung. Bahkan mereka sering “ngerjain”
siapapun yang datang berkunjung ke sekretariat [yang mereka sebut sebagai
markaz intelektual gerakan] KAMMI yang konon sudah menjadi rumah mereka.
Pokonya, benar-benar kebul seperti asap. Namun, dari mereka semualah saya
mendapat banyak ilmu dan hikmah. Kalau pembaca bertemu dengan mereka jangan
merasa luput dari aktivitas “dikerjain”. Bahkan mereka sudah punya tradisi
dan sebutan untuk yang baru-baru berkenalan dengan mereka: “Agenda Ospek”
(Orientasi Pengkaderan) yang diplesetkan menjadi “Orientasi Pada Kerjain”.
Mungkin dengan cara begitulah mereka dan pendahulu mereka—ketika meniti
KAMMI—berhasil dalam menggelindingkan gelombang gerakannya sehingga semakin
dahsyat.

Saat-saat bahagia itupun tiba. Di bagian tempat buku-buku baru saya
menemukan sebuah buku yang dahsyat dalam berbagai hal. Dari diksi (pemilihan
kata), metodologi (sistematika) sampai isi (pesan-pesannya). Dia adalah buku
*Mengalir* *Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan [MAMK: SHPP]*. Buku
setebal 568 halaman karya Indra Jaya Piliang yang diterbitkan oleh penerbit
Ombak, Maret 2010 ini sangat luar biasa.

Singkat cerita, saya berkesimpulan bahwa tulisan-tulisan yang dibangun atas
dasar “kesadaran dan pengalaman” jauh lebih dahsyat pengaruhnya terhadap
diri penulis atau pembacanya daripada hanya “kutipan-kutipan”. Dan saya
adalah salah satu korban. Benar-benar korban; tepatnya terinspirasi untuk
melakukan sesuatu yang terbaik. Ketika saya bandingkan antara buku Bang
Indra Jaya Piliang [pernah menjadi murid pekanan Pa Mustafa Kamal, Anggota
DPR RI] dengan buku *Mengapa Aku Mencintai KAMMI*: *Serpihan Hati Para
Pejuang [MAMK: SHPP]* ini ternyata sama; sama-sama ditulis di atas bangunan
pengalaman hidup yang terengah-engah. Benar-benar seperti lagi mengarungi
lautan yang berombak. Saya tidak perlu menjelaskan semua kesamaan-kesamaan
yang saya maksud, karena saya justru mengajak pembaca—terutama kader-kader
KAMMI—agar membeli [atau minimal membaca] kedua buku tersebut. Lebih lanjut,
atas dasar itulah tulisan ini diberi judul *Mengalir Meniti Ombak*.

Saya sadar kalau kehidupan intelektual dan aktivitas selama ini menjadi
bagian yang melekat dalam diri saya, sehingga ikut terhanyut. Ke mana ombak
pergi, ke sanalah saya menuju. Pikiran, kepribadian dan emosi juga turut
terlibat secara penuh. Karena itu, saya harus menitinya, alias tentu
mengambil jarak secara tepat, tanpa harus selalu mengikuti arus. Mengapa
ombak? Karena ombak adalah aliran air yang dipengaruhi oleh angin. Ombak
mengarahkan ke daratan, kalau kita di pinggir pantai. Sebaliknya, ombak
mengarah ke perahu atau kapal yang kita tumpangi, ketika kita sedang
berlayar. Ombak bagi saya adalah hidup itu sendiri, selalu bergolak dan
bergejolak, sering berubah haluan, tetapi ia adalah petanda kehidupan.
Ketika ombak tidak lagi ombak, maka kehidupan menjadi mati. Saya percaya
bahwa kader-kader KAMMI yang lain—sebagaimana penulis buku *Mengapa Aku
Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang [MAMK: SHPP]*—juga melalui dan
merasakan hal yang sama.



*Meniti Ombak, Membuat Gelombang *

Duabelas tahun yang lalu, ketika roda sejarah sekali lagi dicatat dan
dito­rehkan
oleh kam­pus; dunia mahasiswa mengasah potensi dan kompetensi diri dan
perjuangan. Medio Mei 1998, ketika semua elemen korektif bangsa ini
mandul, aktivis
kampus, tepatnya aktivis dakwah kampus mengambil alih perubahan.
Hegemoni kekuasaan
dan pengakaran tokoh yang kultural dan strukturalpun tumbang seketika. Bagi
aktivis dakwah kampus, ini adalah peluang besar dalam upaya melangsungkan
agenda perubahan yang dicita-citakan. Semangat kebangkitan mengusung kata “
reformasi” mengalir bagai banjir bandang. Semua eleman masyarakat
latah menggaungkannya.
Gebrakan itulah yang mengantarkan Indonesia kepada pergantian kepemimpinan
beruntun. Paling tidak sampai hari ini kita semua melihat evolusi
perubahannya. Keberhasilannya mengantarkan perubahan, dan menggerakkan kembali
struktur berbangsa, jelas merupakan kerja yang sangat besar. Lalu, bagaimana
kabar dakwah kampus saat ini? Apa obsesi kita untuk masa depan dakwah
kampus?

Dakwah kampus adalah elemen yang tak terpisahkan dari elemen dakwah
secara umum.
Karena itu, menentukan peran strategis dakwah kampus saat ini dan ke depan
tidak dapat dilepaskan dari posisi sejarah panjang *harakah islamiyah* dalam
berbagai dimensinya. Baik sebagai gerakan dakwah pemuda Islam/gerakan
mahasiswa, gerakan kebangsaan maupun sebagai bagaian dari gerakan keumatan
(global). Untuk itu, kaderisasi pengusung dakwah kampus idealnya tidak
selalu dipahami sebagai regenerasi aktivis untuk satu atau dua periode
dakwah kampus. Dakwah kampus sangat elegan jika dipahami sebagai ruang
pengkaderan generasi untuk kecerahan masa depan umat, bangsa ini dan bahkan
peradaban dunia. KAMMI adalah bagian tak terpisahkan dari gerakan perubahan
yang terlahir dari kampus; dengan berbagai macam cita-cita dan obesinya. Untuk
itu, apapun yang menjadi cita-cita KAMMI idealnya merupakan akumulasi dari
berbagai macam cita-cita elemen kampus. Atas dasar itu jugalah kompetensi
strategis kader dan gerakannya mesti berorientasi jangka panjang dan
dibentuk sejak dini. Saya kira, setiap elemen gerakan atau institusi apapun
di kampus [khususnya yang berbentuk unit mahasiswa] juga layak untuk
menunaikan hal yang sama.

Dalam menyukseskan dakwah kampus, terutama agar ia kembali menggelora dan
mampu berperan aktif dalam agenda-agenda perubahan umat dan bangsa, banyak
gagasan yang bisa ditunaikan. Secara pribadi saya memiliki banyak usulan, di
antaranya kita mesti belajar dari pengalaman “saudara-saudara kita” yang
telah melewati masa-masa itu. Mengenai hal ini, saya merasa penting dan
perlu bagi kita untuk membaca [atau membedah] buku *Mengapa Aku Mencintai
KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang [MAMK: SHPP]*. Walaupun tidak selalu
sempurna [apalagi judulnya terlalu segmentatif], namun justru di situlah
letak keunikan dan kekhususan buku ini. Lebih dari segalanya, saya percaya
bahwa buku ini mampu membawa kita ke dalam ruang dan suasana baru. Bukan
saja informasi yang terdapat di dalamnya, tapi juga—yang lebih penting
adalah—nilai-nilai luhur perjuangan para kader KAMMI yang dikisahkan di
dalamnya.

Buku ini merupakan kumpulan tulisan 3 kader KAMMI yang memiliki “semangat
yang sangat” dalam segala aspeknya. Pada awalnya hanya tulisan-tulisan;
“curhatan”. Curhatan, semacam letupan emosi mereka terhadap berbagai
fenomena ketika mereka aktif secara struktur di KAMMI. Memang tidak semua
kejadian terrekam dalam tulisan-tulisan mereka, namun saya percaya bahwa
buku yang berisi 3 bagian [*bagian satu: Mengapa Aku Mencintai KAMMI, bagian
dua: Bunga-bunga Haroki, dan bagian tiga: Mekar bersama Bunga Haroki KAMMI*]
ini bisa dianggap mewakili berbagai fenomena unik di KAMMI. Ada susah,
senang, benci, suka, semangat, loyo, jujur, cinta, persaudaraan,
persahabatan, serius, santai, tawa, canda, tangis, senyum, cemberut, lelah,
letih, susah, senang dan berbagai macam hal yang boleh jadi tak semua orang
mengalami hal yang sama.

Saya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari KAMMI merasa bahwa kader-kader
KAMMI memiliki potensi besar. Selanjutnya, KAMMI juga sudah melawati
sejarahnya sudah mamasuki dasawarsa kedua. Banyak hal yang bisa dilakukan,
banyak fenomena yang terjadi dan serba-serbi keunikan yang tercipta. Masa
lalu, masa kini bahkan masa depan adalah sejarah mengenai kerja-kerja besar
yang pernah, sedang dan akan KAMMI torehkan. Banyak hal yang menjadi
inspirasi, namun yang paling istimewa adalah inspirasi yang bersumber pada
kerja-kerja nyata. Saya percaya ketiga orang penulis buku ini pernah, sedang
dan akan terus menjadi inspirator dan boleh jadi akan terus terinspirasi
oleh kader-kader KAMMI yang lain. Mungkin hari ini tak selalu menjadi saksi,
namun masa depan adalah sejarah terbaik yang akan menceritakan semuanya
tentang mereka, tentang kader-kader KAMMI dan tentang siapapun yang berpikir
cerdas dan bergerak tuntas untuk masa depan Islam, Bangsa ini bahkan
Peradaban dunia.

Pada awalnya hanya semangat, yah semangat untuk mendokumentasikan setiap
kejadian di KAMMI dan momentum 12 tahun KAMMI [29 Maret 1998-29 Maret 2010].
Namun, ternyata obsesi tersebut tidak cukup di situ. Bahkan yang utama
adalah ingin membagi gagasan mengenai kesungguhan; mengenai bagaimana
belajar bergerak dari sejarah dan pengalaman masa lalu serta upaya membangun
budaya literasi—di samping hal-hal lain yang mungkin belum terungkap secara
tuntas. Atas dasar itu jugalah saya dengan tulus memfokuskan diri pada
aspek-aspek sederhana: menceburkan diri dalam kolam ide dan fenomena KAMMI
dan kader-kadernya; tepatnya budaya *Membaca, Menulis* dan *Berdiskusi*.
Mungkin ada orang yang menyebutnya sebagai pengamat, namun saya tidak merasa
seperti itu. Saya lebih suka dan sangat bangga menyebut diri saya sebagai
manusia biasa yang sedang belajar untuk membuat pelajaran kepada banyak
orang mengenai *kerja-kerja kecil*. Itu saja. Kalaupun ada hal lain yang
sempat terlontar, itu hanyalah selingan. Semacam penghibur ria di balik
kepenatan yang terus menggoda. Dan itulah warna dan selingan yang membuat
KAMMI menjadi asyik dan mengasyikkan banyak orang—terutama kader-kader KAMMI
sendiri. Lebih dari itu, saya merasa bahwa saya memiliki tanggung jawab di
KAMMI; sebuah organisasi di mana saya besar dan dibesarkan. Mungkin tak
seberapa, namun saya bertekad untuk melakukan apa pun yang saya bisa dan
memberikan apa yang saya punya.

Pembaca mungkin sudah menunggu sambil bertanya, “apa isi dan pesan buku
ini?” Bahkan suatu ketika ada yang bertanya kepada saya, “Apakah
tulisan-tulisan dalam buku ini benar-benar terjadi, atau semacam ‘novel’
buatan yang seakan-akan fakta?” Seketika saya menjawab, “Penulis buku ini
sebenarnya adalah ....tapi tidak perlu dicantumkan di buku ini. Itu lebih
bijak bagi mereka yang belajar bergerak dari ruang sunyi atas nama cinta dan
keikhlasan. Sunyi dari ria, sunyi dari sombong; namun percayalah, mereka
sangat mencintai KAMMI, bangsa dan agama [Islam] ini. Nama mereka tak perlu
dipampang di mana-mana; mereka juga merasa tak penting dianggap atau tidak
dianggap; karena boleh jadi nama mereka lebih dahulu telah tercatat oleh
Malaikat dalam klasifikasi manusia tawadhu, tulus nan ikhlas. Yang lebih
penting bagi kader-kader KAMMI (dan pembaca secara umum) yang membaca buku
ini adalah kemampuan mengambil pelajaran di balik semua penggalan kisah,
pengalaman dan fakta di dalam kepingan tulisan-tulisan yang terdapat dalam
buku ini. Itu sudah cukup. Lebih lanjut, yah beli saja bukunya.”

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Imron Rosyadi, Evi Fitria dan Aji
Kurniawan Darmawan yang tersebar di berbagai milis, blog dan lembar-lembar
berserakan. [Sebenarnya ada banyak perubahan; baik dari aspek penulisan,
diksi maupun kontekstualisasi pesan. Walaupun ada beberapa tulisan yang
tidak sempat diperbaiki]. Karena kemauan yang kuat dari beberapa pengurus
KAMMI [tepatnya yang terlibat di *Muda Cendekia*] untuk membangun *budaya
literasi*, akhirnya kumpulan tulisan inipun disepakati untuk dibukukan. *Bagian
satu* berisi tentang respon seorang kader KAMMI atas fenomena KAMMI; baik
secara internal maupun eksternal KAMMI. Hal ini dilakukan sebagai bukti
setia dan cinta penulisnya kepada kader dan organisasi KAMMI. Pada dasarnya
hanya “curhatan” atas fenomena yang terjadi ketika penulisnya aktif secara
struktur di KAMMI. Benar-benar “curhatan”. Namun, karena pesannya sangat
istimewa, maka adalah sebuah kemestian bagi generasi setelahnya untuk
belajar dari pengalaman dan kisah-kisahnya.

Tulisan yang berjudul *Namaku KAMMI* [hal. Xi-xxi] adalah cerita sederhana
kelahiran dan perjalanan KAMMI. Kemudian tulisan yang berjudul *Jatuh Cinta
pada KAMMI yang kedua kalinya* [hal. xxiii-xxvii] pada bagian awal secara
umum bisa dianggap mewakili semua tulisan pada *bagian satu*. Walaupun
begitu, isi tulisan dari judul-judul lain juga layak untuk dibaca. Sebab
jika kita membaca satu-persatu, maka kita akan menemukan keunikan
tersendiri. Ada *Komunitas Antik dari Yogyakarta, Tentang Fitri, No Ikhwan
No Cry, KAMMI Merah, Kurang Anjar-Dasar Grendeng!, Lelaki yang Memilih
Menikah dengan Pena Dan Buku, Yang Jatuh Yang Meneguh-Yang Jatuh Yang
Meluruh, Cerita Tentang Betis* dan seterusnya.

*Bagian dua* berisi tentang fenomena menyejarah, dan juga fenomena—yang bisa
dinilai—paradoksal dalam ruang aktivitas dan gerakan kader-kader KAMMI. Dari
bagaimana memimpikan dan merencanakan yang terbaik bagi gerakan KAMMI dalam
segala aspeknya, sampai hal-hal yang secara manusiawi pasti ada dan terjadi.
Boleh jadi di antara pembaca ada yang merasa aneh atau bahkan tersinggung,
“Kok yang gitu aja ditulis”, “Kok tentang defisit saja ditulis”, “Tentang
cinta saja diungkap”, “Tentang akhwat yang jomblo karena lama nikah saja
ditulis” dan seterusnya.

Percayalah, begitulah cara KAMMI melampaui kenyataan, mengkritik fenomena,
sehingga membuat kader-kadernya bisa bertahan; bisa melanjutkan peran-peran
kontribusi dalam ruang yang lebih luas. Kesungguhan, persaudaraan, kesetiaan
bahkan cinta yang dibangun dalam ruang gerakan mereka adalah benar-benar
bahasa jiwa. Yang terrumuskan dari ruang keimanan. Dan bagi saya itu adalah
salah satu bukti bahwa mereka bergerak dalam kondisi kuat dan tegar. Mereka
tidak memaknai terminologi-terminologi—yang sering diasosiasikan sebagai
wejangan melankolik—tersebut dalam pemaknaan yang kerdil, cemeng, cengeng,
lemah dan serba kecil sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh pemburu syahwat
dan dunia yang serba palsu dan dungu. Tidak, sama sekali tidak. Karena
mereka kuat dan benar-benar beda. Mereka tidak memburu uang seperti cerita
kelam para koruptor yang tertawa terbahak-bahak dan sok gaya di depan rakyat
setelah mendapatkan uang-uang rakyat untuk perut-perut mereka;
koruptor-koruptor itu. Melankolik yang mereka pahami bukan seperti fenomen
film yang kebanyakan membuat para penonton terburu-buru menjadi korban.
Mereka sangat beda. Adalah khalifah Abu Bakar Shidiq yang dengan bangganya
menyatakan, “Saya mencintai kalian karena Allah” menjadi inspirasi mereka.
Mereka juga mungkin sudah terkena bumbu cinta Sang Nabi Muhamad tercinta
ketika mengatakan, “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Atau
terprovokasi oleh riwayat yang menjelaskan bahwa “tidak sempurna keimanan
seseorang mukmin jika tidak terbesit dalam dirinya untuk menata urusan
publik”, dan seterusnya. Jadi, jangan coba-coba menyamakan mereka dengan
fenomena manusia pada umumnya.

*Bagian tiga* berisi tentang kritik, mimpi bahkan ide kader-kader KAMMI yang
diwakili oleh penulisnya. Mengenai *Trend KAMMI, Masa depan KAMMI, Karakter
KAMMI, Fenomena Intelektualitas KAMMI* bahkan bukti kesungguhan dan
fenomena-fenomena yang konon membuat banyak orang menganggap KAMMI banyak
titik “hitamnya”, kaya berbagai “fitnah” dan lain-lain. Padahal tidak selalu
sama dengan asumsi-asusmi itu. Sama sekali tidak. Walaupun ada, itu
satu-dua; dan bukan semua kader KAMMI. Namanya juga belajar menjadi “orang”,
pasti ada salahnya. Apalagi yang ditata dan yang menata kader dan gerakan
KAMMI adalah manusia-manusia juga. Bukan kumpulan Malaikat langit yang luput
dari dosa dan durhaka. Ini bukan pembelaan, namun saya merasa perihatin
dengan “sikap dan pendapat” orang-orang [yang konon seakan-akan banyak tahu
padahal sok tahu; sok cerdas padahal otak kosong; sok kader berstatus
aktivis dakwah padahal amal yaumi tidak jauh beda dengan manusia-manusia
biasa di luar sana] yang menstigmakan semua “kejelekan” tersebut kepada
kader-kader KAMMI; bahkan sampai “menghukumi kader-kader tertentu KAMMI”
dengan sebutan dan penilaian yang menurut saya berlebihan.

Padahal mereka [kader-kader KAMMI] itu adalah aset masa depan. Mereka telah
dan akan terus lelah menjaga stand pendaftaran anggota baru, cape
merencanakan agenda, letih menjaga kader-kader [saudara-saudara mereka] yang
sempat minta izin pergi. Mereka sudah mengorbankan segala yang mereka miliki
untuk cita-cita besar; mereka telah merelakan harga diri mereka dijual demi
kebaikan Islam; mereka kadang berpenampilan sederhana dan apa adanya agar
kader yang lain—saudara-saudara mereka—merasa nyaman dan bisa bertahan dan
sabar; mereka kadang tidak dianggap sebagai “kader” oleh “orang-orang”
tertentu yang seakan-akan “orang-orang” itu sajalah yang memiliki saham
besar untuk mendakwahkan agama Islam ini.

Saya menyaksikan dengan mata saya sendiri, kader-kader KAMMI yang sampai tak
makan, sampai tak tidur, sampai dimaki-maki, difitnah, disisihkan, dianggap
nyeleneh, dinilai melawan arus dan seterusnya. Bahkan ada di antara mereka
yang difitnah sebagai agen intelijen, penyusup, harokah dan Ormas lain, dan
serba-serbi fitnah lainnya. Jujur, saya tidak bisa bayangin kalau ada di
antara kita mengalami fitnah seperti itu. Betapa teganya, betapa tragisnya
dan betapa….yah jujur saya kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semuanya.


Anehnya, konon hal-hal ini disampaikan oleh “orang-orang” yang memiliki
amanah penting. Bahkan dengan bangganya menunaikan semua itu dengan pamer
status dan jenjang pengkaderan (*Tarbawi, Dauroh Marhalah* atau yang
lainnya). Lalu, apakah mata hati “orang-orang” itu tak terbuka melihat bahwa
kebaikan sebagai kebaikan; bahwa KAMMI juga merupakan tempat berkumpulnya
manusia yang tentu memiliki potensi untuk salah, yang pada saat yang sama
juga memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan? Semoga kita semua
tersadarkan, karena boleh jadi di hadapan Allah kita tak ada apa-apanya—jika
dibandingkan dengan amal sholeh mereka yang sering kita rendahkan dan
lecehkan—pada saat kita merasa sudah menjadi kader inti dan aktivis dakwah
dengan berbagai status dan jenjangnya.

Selanjutnya, saya tak cukup kesempatan untuk mengeja kata-kata untuk
menjelaskan semua isi buku ini—apalagi merangkai hikmah di balik pesan-pesan
istimewa yang terdapat di dalamnya. Karena itu, sebelum dilanjutkan ke acara
diskusi, saya mengusulkan agar pembaca membaca pengantar saya—yang berjudul
*Karena Mereka Elang Muda!*—dalam buku *Mengapa Aku Mencintai KAMMI:
Serpihan Hati Para Pejung (MAMK: SHPP]* ini. Berikut kutipannya.







***



*KARENA MEREKA ELANG MUDA!*

(Pengantar untuk Buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI:

Serpihan Hati Para Pejuang)





“Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat
ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah
pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintahlah yang seketika mengubah
persepsi kita tentang dunia di sekeliling kita”, demikian ungkapan Ust. Anis
Matta dalam bukunya *Serial Cinta*.

Namun cinta di sini tidak dimaknai sebagai “perasaan syahwat” yang tak
terkendali. Sebagaimana para pecinta palsu memahami cinta. Di sini, cinta
benar-benar cinta. Cintanya para pecinta. Bagaimana tidak, KAMMI yang masih
berusia muda—ibarat gadis cantik itu—membuat mereka tergila-gila. Yang
membuat mereka “menggodanya” tapi juga “menikmatinya.” Memberi makna
terhadap diri mereka sendiri, dan juga untuk KAMMI tempat mereka memulai
karya.

Mengapa? Selain namanya yang memang menunjukan representasi kecintaan anak
muda pecinta Islam (agama mereka) dan Indonesia (negeri mereka)—sebagaimana
Al-Fatih dalam menaklukan Konstantinopel. Lebih dari itu, suasana yang
terbangun dalam ruang gerakan KAMMI, di mana mereka hidup, bergerak dan
melangkah memang syarat dengan keindahan, penuh heroisme, kaya kenangan dan
juga pengorbanan. Bahkan juga cinta itu sendiri, cinta persaudaraan dan
cinta perjuangan.

Bukti cinta mereka terhadap KAMMI dan juga kader-kadernya tak berhenti di
lorong perjuangan dalam periode tertentu, tapi juga sampai di negeri
keabadian yang niscaya. Hingga hari ini dan untuk selamanya. Ruang
kontribusi mereka kepada KAMMI tidak hanya dibangun di atas dan atas nama
cinta, bahkan lebih dari itu. Walau kata cinta lebih tepat untuk menunjukan
segalanya.

Mereka menunaikan semuanya bukan dengan pelemahan atas jiwa juang mereka
yang kuat. Kuat karakternya, kuat juga jiwanya. Namun, justru dengan
penguatan jiwa mereka yang semakin kuat, bahkan tahan banting. Hal ini
terlihat dalam peran mereka selama di KAMMI yang terrekam dalam cerita dan
diksi tulisan-tulisan mereka yang punya kekhasan, lugu [berbicara
sesederhana mungkin], terbuka [berbicara apa adanya] dan secara emosional
terlihat tak berjarak dengan kepribadian mereka sendiri bahkan kader-kader
KAMMI.

Jujur, belum ada tulisan yang membuat saya menangis sepanjang waktu
[beberapa jam] seperti yang saya alami saat merapihkan [mengedit] buku ini
ketika masih dalam bentuk naskah. Membaca penggalan kisah, pengalaman dan
juga hikmah di dalamnya begitu menghanyutkan jiwa nestapa—yang mudah
mengeluh dan merasa perjuangan ini cukup berhenti di sini—ke alam kesadaran.
Terutama diri saya sendiri. Betapa KAMMI benar-benar menjadi rumah
mereka—tempat mereka hidup. Benar-benar menjadi tempat memupuk rindu—semacam
ketulusan berukhuwah, keikhlasan beramal, merangkai ide jadi gerakan dan
seterusnya. [*Ya Allah, saksikanlah…Jadikan air mata ini menjadi saksi atas
kesungguhan hamba-Mu untuk mencintai KAMMI sebagaimana pendahulu hamba
mencintai kader-kader KAMMI dan diri mereka!*]

Lebih lanjut, hanya pembaca—terutama kader KAMMI yang lebih tahu apa yang
dirasakan ketika atau setelah membaca buku ini. Saya tidak bermaksud
mengajak pembaca “cengeng”, menangis menghabiskan air mata. Tidak, sama
sekali tidak. Saya hanya ingin—sebagaimana isi buku ini—mengajak kita untuk
hidup dan menunaikan amanah di KAMMI seikhlas mungkin. Jangan mudah
meratapi keadaan dengan berhenti melangkah dan menutup diri dari
ketidakberdayaan. Sebagaimana juga, untuk mereka yang sempat atau bahkan
masih suka “menghakimi” kader-kader KAMMI, jangan sesukanya “menghakimi”
KAMMI, kader-kadernya. Tanpa bermaksud membela kelemahan, kesalahan dan
kekeliruan, kader-kader KAMMI adalah manusia biasa yang juga memiliki
potensi untuk salah, keliru bahkan untuk durhaka.

Namun percayalah, di balik itu semua mereka, kader-kader KAMMI
memiliki kesadaran
keberlanjutan perjuangan seperti elang yang menghadang angin yang akan terus
saja menerjang. Mereka adalah elang-elang muda. “…. Maka masa depan
Indonesia—bahkan umat manusia—adalah elang-elang muda itu. Elang muda yang
tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta. Elang muda yang berhasil
memenangkan kecenderungan kebaikannya (*taqwa*) atas ego kejahatannya (*
fujuur*). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus
menerus hingga angin kelelahan dan pulang.” Mereka bisa sadar, semacam
taubat dari kedurhakaan, setapak demi setapak.

Lebih dari itu, ke depan KAMMI punya obsesi untuk berpacu lebih maju dalam
segala aspeknya, terutama dalam menerjang kerumitan yang dihadapi oleh
gerakan KAMMI—termasuk urusan rumah tangga KAMMI sendiri—dan juga kemandegan
negeri ini untuk bangkit. Bukan bemaksud meratapi ketertinggalan, tapi
(lebih utama) sebagai jalan terang untuk membawa umat dan negeri ini ke
pangkuan istana kejayaannya. Jika itu yang menjadi harapannya, maka KAMMI
(memang) pemimpi sekaligus pelakunya. Kalau saja ada ide yang menjadi
spiritnya, maka buku *Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para
Pejuang [MAMK: SHPP]* ini layak menjadi pustakanya. Selamat mengambil hikmah
wahai pejuang-pejuang muda! []



***



Lebih lanjut, beberapa gagasan berikut sepertinya sangat relevan untuk
diadopsi atau paling tidak minimal menjadi gagasan awal diksusi dan diskusi
awal. *Pertama, objektivikasi sistem dakwah kampus*. Sistem dakwah kampus
mesti mengadaptasi realitas dan impian jangka panjang untuk kampus, bangsa
dan dunia Islam. Dan semua elemen aktivisnya mesti memahami dan terlibat
dalam agenda ini. *Kedua, membuat momentum baru*. Kalau tahun 1998, trendnya
adalah reformasi, maka saat ini dan (minimal) 10 tahun ke depan dakwah
kampus juga mesti mengusung trend baru. Apapun trendnya, yang mesti
disiapkan adalah menjadwal kembali rencana-rencana strategis yang (memang)
sudah dirumuskan atau dalam bahasa sederhananya adalah memenuhi
syarat-syaratnya. Di antaranya: *memperkuat kembali basis massa di kampus
sampai tingkat jurusan/program stud**i**; mengarahkan trend kebangsaan pada
cita-cita bangsa dan negara yang islami; mengkombinasikan ide-ide keislaman
secara global dengan lokal keindonesiaan*. Agar hal ini berjalan realistis,
maka perlu penguatan jaringan sesama elemen gerakan mahasiswa terutama
Islam, baik di level lokal (kampus, daerah, wilayah) nasional maupun di
kancah internasional (global).

Ketiga, memantapkan struktur dan pemetaan SDM berbasis kompetensi. Pemetaan
sumber daya sepertinya lebih elok jika direkayasa berdasarkan karakter
jurusan atau program studi aktivis. Artinya, tidak selalu berdasarkan
“kebutuhan jangka pendek”.

Keempat, membangun tradisi dan kultur khas aktivis dakwah kampus
seperti *MEMBACA,
MENULIS* dan *BERDISKUSI*. Setiap aktivis mesti membangun tradisi dan kultur
ini kapan dan di manapun. Melalui karya tulis (buletin, majalah, buku, blog)
misalnya, bisa menjadi sarana penampung ide sekaligus penokohan aktivis
dakwah kampus di tingkat publik. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah
membangun kultur “english and arabic langue day”. Hal ini akan membantu
dakwah kampus semakin mempesona publik, minimal publik kampus.



* *

* *

*Goal Setting Gelombang baru *

Basis dari semua perge­rakan dakwah (termasuk kampus) adalah
kaderisasi dan pembinaan.
Inilah kontek yang selalu menjadi acuan dalam semua implementasi
dakwah di lapangan.
Perdebatan tidak ada di sana. Perdebatan ada dalam perbedaan cara kita
mencapai acuan tersebut. Pada titik inilah dibutuhkan kejelian dalam
menggunakan
sayap dakwah yang dijadikan gerbang utama rekrutimen “besar-besaran”. Kita
sama-sama menyadari besarnya potensi yang dimiliki kampus dalam proses
kaderisasi. Apa yang sekarang sudah dilakukan pun masih menyi­sakan *market
size* yang sangat besar. Akan tetapi jangan sampai kebijakan lapangan justru
membuat kita sulit mengambil *market share* yang besar dari *market
size*yang tersedia.


Selanjutnya catatan kita juga diarahkan kepada kualitas produk yang
dihasilkan oleh dakwah kampus. Pada masa sebelum era *jamahiri*, era
keterbukaan (era reformasi) kita mentarget untuk melakukan *nashrul
fikroh*(penyebaran pemahaman, isi dan pesan) kepada sebanyak mungkin
publik. “Pokoknya bagaimana caranya supaya orang mengenal dakwah ini;
mengenal Islam”. Saat ini, faktor eksternal kampus mutlak menjadi catatan
dalam mem­format produk dakwah kampus. Pengalaman kita selama ini, mantan
aktivis kampus [dari mana dan apapun jenis organisasnya] masih ada yang
tidak memiliki peran produktif di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena
memang gerakan kampus belum secara produktif mengarahkan diri ke arah sana.
Maka ke depan, dengan peluang yang tersedia, dengan keterbukaan dan popularitas
dakwah, target produk kampus mutlak diarah­kan mengisi peluang tersebut.

Kita sama-sama sadari, proses kaderisasi dan regenerasi nasional di negara
ini adalah salah satu problem akut yang kronis. Kita juga sama-sama sudah
memahami kemandulan *lingk and match* lulusan kampus terhadap daya serap
tenaga kerja. Maka gerakan-gerakan perubahan berbasis kampus harus mampu
membidik dan mengarahkan pembinaan dan kaderisasi ke arah sana. Tentu saja
hal tersebut menuntut perubahan strategi dan perluasan *networking*. Kita
bicara hal ini, karena kita melihat peluang yang sekarang terbuka dan
tersedia dari pergerakan dakwah secara umum.

Basis pengkaderan bahkan masing-masing gerakan sudah sejak beberapa tahun
lalu mengangkat tema agenda perubahan pasca kampus atau kembali ke kampus,
adalah sebuah tawaran untuk melihat konteks yang dibutuhkan oleh perubahan
dari elemen pergerakan kampus ke depan. Bahwa pro­duk dakwah kampus
seharusnya adalah SDM yang disiapkan secara sistematis untuk mampu mengisi
fungsi regenerasi kepemimpinan di negara ini. Lulus dan dikenal tidak
hanya sebagai
aktivis lapangan, melainkan dipersiapkan jalur­nya untuk masuk ke
dalam struktural
kehidupan. Tawaran menarik adalah apa yang sekarang menjadi trend
dalam pembinaan
mahasiswa. Konsep pesantren mahasiswa yang diarahkan menyiapkan SDM unggul
yang cakap adalah salah satu ide kreatif dan perbaikan dari produk dakwah
kampus. Pesantren mahasiswa yang dimaksud tentu bukan sekedar menyiapkan
kafa'ah syar'iyah produk dakwah kampus, melainkan (kalau memungkin­kan)
sampai kepada model mentor dan tutor dengan tokoh-­tokoh struktural dan
kultural yang memiliki peran dan pengaruh di masyarakat, dalam semua bidang.




*Mengenal KAMMI*

KAMMI dapat dipetakan dalam tiga dimensi gerakan, yakni sebagai gerakan
mahasiswa (*harakah thullabiyah*), gerakan kebangsaan (*harakah wathaniyah*),
dan gerakan keummatan (*harakah Islamiyah*).

Menurut *Akhi* Rijalul Imam dalam buku *Kapita Selekta KAMMI: Membumikan
Ideologi Menginspirasi Indonesia*, “Baik KAMMI sebagai gerakan mahasiswa,
kebangsaan, maupun keummatan, pada hakikatnya perjuangan pergerakan KAMMI
bersifat terpadu (integral), tidak diartikan secara terpisah (*secular*).
Begitu pula gerakan KAMMI tidak bisa dilihat dari sisi ke-KAMMI-annya saja.
KAMMI perlu menempatkan diri sebagai bagian inheren dari arus besar anasir
perubahan, baik ia sebagai gerakan mahasiswa, kebangsaan, maupun keummatan.
Jadi di sini publik mesti memahami KAMMI bahkan kader-kader KAMMI sendiri
harus menyadari bahwa sejarah gerakannya adalah bagian dari kelanjutan
sejarah gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, dan gerakan keummatan.”



*Penutup *

Tentu, keseluruhan tanggung jawab atas tulisan ini berada di tangan saya.
Saya berharap, buku *Mengapa Aku Mencintai KAMMI*: *Serpihan Hati Para
Pejuang* [termasuk tulisan] ini mampu menindaklanjuti aliran-aliran ombak
pikiran kader-kader KAMMI [bahkan generasi muda bangsa ini]. Tulisan ini
lahir di sela-sela deburan ombak putih saya dalam gerakan KAMMI yang
menggapai pantai-pantai kehidupan baru. Dari satu dermaga keangkuhan menuju
dermaga ketulusan; yah menuju kehidupan baru dan serba baru. Karena bagi
saya, 12 tahun KAMMI adalah momentum besar bagi kader-kader KAMMI [termasuk
saya] untuk menata secara matang pribadi-pribadinya; menjadwal ulang
rencana-rencana gerakannya. Bahwa apa yang telah dilakukan beberapa waktu
yang lalu belumlah seberapa. Jujur, KAMMI belum melakukan apa-apa jika
dibandingkan dengan generasi tua [para sahabat nabi, ulama] dan para
pahlawan. Jangankan untuk Islam sebagai *dien* atau Indonesia sebagai negara
di mana KAMMI dilahirkan; KAMMI pun belum mampu melakukan semua hal yang
terbaik bagi kader dan gerakan KAMMI sendiri. Karena KAMMI sadar bahwa di
atas keideal cita-cita dan mimpi, ada realitas yang selalu mengahdang dan
akan terus melawan.

Karena itu, KAMMI merasa bahwa mimpi-mimpi KAMMI mesti dijelaskan secara
terbuka kepada semua elemen bangsa, bahwa yang KAMMI inginkan adalah
kebaikan agama ini dan kebangkitan bangsa ini. KAMMI rindu saudara-saudara
KAMMI yang belum “menikmati nikmatnya hidup dalam naungan Islam itu sangat
indah” bisa merasakan “nikmatnya hidup dalam naungan Islam.” Walau KAMMI
sadar bahwa di sela-sela aktivitas KAMMI [kader-kader KAMMI] pasti terjumpai
berbagai macam kesalahan dan kekeliraun yang membuat marah dan kesal banyak
orang. Ini bukan pembelaan tanpa alasan. Namun demikian, saya tentu berhak
berkata jujur dan benar. Di atas semua itu sebenarnya kader-kader KAMMI
sangat mencintai siapapun saudara-saudara seiman dan seperjuangan, apapun
organisasinya dan di manapun mereka beraktivitas. Kader-kader KAMMI juga
sangat mencintai bangsa Indonesia, negara di mana KAMMI lahir dan besar.
Lebih dari itu, kader-kader KAMMI sangat mencintai rakyat dan para pemimpin
negeri ini; terutama agar mereka paham dan mengerti tentang hak dan
kewajiban-kewajiban mereka. Makanya kader-kader KAMMI sering melakukan
protes, intrupsi dan kritik politis atas berbagai fenomena yang KAMMI nilai
tak wajar dan tak adil. Selanjutnya, kader-kader KAMMI mencoba belajar untuk
mencintai KAMMI yang tentu tidak melebihi cinta kader-kader KAMMI kepada
Allah dan Rasul-Nya, namun—lebih tepat—tetap dalam kontek itu. Semoga! []


* *

------------------------------

[1] <#_ftnref1> Ditulis di Gang Sayyid Quthb, Jl. Ahmad Yani No. 873 Kota
Bandung, Senin/12 April 2010, Pukul 04.45–10.30 WIB. Disampaikan pada acara
Bedah Buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang KAMMI UIN
SGD Bandung, Kamis/22 April 2010 di Masjid IKOMAH UIN SGD Bandung. Sebelumnya
pernah dipublikasikan pada acara bedah buku *Mengapa Aku Mencintai KAMMI:
Serpihan Hati Para Pejuang* pada Senin/12 April 2010 di Kampus Universitas
Pasundan Kota Bandung-Jawa Barat. [Pembedah: Syamsudin Kadir (Kaderisasi
KAMMI Periode 2008-2010/Editor Muda Cendekia-Utan Kayu Utara Jakarta) dan
Pembanding: Idral (Ketua KAMMI Daerah Riau Periode 2008-2010). Tulisan ini
dapat dibaca di milis KAMMI Pusat dan Blognya Bang Indra Jaya Piliang].


--
Syamsudin Kadir
Kaderisasi KAMMI, Editor Muda Cendekia

KAMMI Unila Usai Gelar Training Jurnalistik

KAMMI Unila Usai Gelar Training Jurnalistik

Bandar Lampung (KAMMI Unila), sekitar 20 orang kader KAMMI dari 2 komisariat yang ada di Lampung menjadi peserta Training Jurnalistik yang digelar KAMMI Unila selama 2 hari (24-25 April 2010). Pelatihan yang digelar di ICMI Islamic Centre Rajabasa Bandar Lampung ini merupakan agenda wajib yang harus diikuti oleh kader anggota biasa KAMMI Unila. Training ini bertujuan agar kader KAMMI mampu untuk menguasai bidang jurnalistik dan kehumasan.
Pelatihan yang diikuti oleh kader KAMMI Unila dan IAIN Radin Intan selama 2 hari ini menghadirkan materi-materi dasar jurnalistik. Seperti Dasar- dasar kehumasan, komunikasi efektif, teknik penulisan berita dan pendapat, Teknik Penulisan berita dan rilis,pembuatan layout dan design surat kabar serta Retorika. Dalam pelatihan ini peserta disetiap sesi materi diberikan simulasi langsung terkait materi. Sehingga peserta bisa mengetahui pengaplikasian materi bukan hanya dari penjelasan teoritis tetapi praktek secara langsung. Bagaimana seorang wartawan harus menyajikan berita  yang mempunyai nilai kelayakan sebuah berita, bagaimana seorang redaktur tertarik dengan opini yang kita buat, bagaimana cara kita berkomunikasi secara efektif, bagaimana seorang design grafis membuat design dan layout yang bagus, detail dan relevan dengan berita yang akan ditampilkan  dan bagaimana cara yang benar seseorang untuk beretorika semuanya tercaver dalam training jurnalistik ini.
Dengan diadakannya agenda ini diharapkan kader-kader KAMMI mampu untuk memiliki kemampuan di bidang jurnalistik. Hal ini menjadi suatu keharusan bahwa kader KAMMI harus mampu menulis. Karena dengan menulis maka gagasan atupun ide cemerlang kita akan mudah tersalurkan dan dibaca oleh orang lain. Daya kritis kader KAMMI bisa terwadahi dengan baik jika disalurkan ke media yang benar seperti mengkritisi kebijakan pemerintah melalui opini yang dipublish di media massa.
Pasca Training jurnalistik ini diharapkan akan ada followup. Kedepannya alumni training yang dihasilkan mampu mempunyai komitmen yang tinggi untuk menulis. Sehingga ilmu-ilmu yang diperoleh saat pelantikan tidak menguap dipermukaan dan hanya dipahami sebagai dari segi teoritis tetapi mampu untuk mengimplementasikan materi yang didapat dengan menuangkannya dalam bentuk tulisan.(lego)

Menanti Hasil UN dan Mempertahankan Idealisme

MENANTI HASIL UN DAN MEMPERTAHANKAN SEBUAH IDEALISME
Tri Lego Indah F N  (kader KAMMI unila)

Ujian Nasional ( UN ) yang menjadi hajat besar bagi dunia pendidikan yang berlangsung setiap tahunnya. Sudah satu bulan pula siswa SMA/SMK sederajat melaksanakan ritual rutinan tersebut. Pelaksanaan UN yang berlangsung selama 1 pekan (22-26 Maret 2010) kini tinggal menunggu hasil yang akan diumumkan esok hari (26 April 2010).
Pendidikan pada hakikatnya merupakan investasi masa depan suatu bangsa. Hasilnya baru bisa dirasakan 10- 25 tahun ke depan. Kecurangan- kecurangan yang dilakukan saat pelaksanaan Ujian Nasional  yang terjadi, baik secara terselubung maupun terang-terangan, berkelompok maupun “berjamaah”, dalam jangka pendek mungkin bisa menolong siswa dari ketidaklulusan. Namun, dalam jangka panjang, justru akan berdampak buruk terhadap kualitas generasi masa depan. Yang terjadi adalah karakter mereka akan terbentuk dengan sendirinya dari lingkungan yang mengajarkannya. Ketika kecurangan dibiarkan, cara-cara instan ditempuh untuk menggapai sukses, maka yang terjadi kelak adalah lahirnya generasi anak muda bangsa  yang memuja gaya hidup instan, nihil apresiasinya terhadap budaya proses dan kerja keras, dan merajalelanya sikap hidup pragmatis yang membahayakan masa depan anak bangsa.
Negeri kita memang sudah memiliki pengalaman cukup matang dalam penyelenggaraan Ujian Nasional. Namun, kebijakan pemerintah yang selalu acuh terhadap berbagai kritik yang selama ini mengemuka dari para pemerhati dunia pendidikan menjadikan pelaksanaan ujian nasional menjadi selalu salah urus. Dan bahkan cenderung mengebiri potensi anak didik. Banyak siswa yang pandai pada mata pelajaran tertentu dan mendapat prestasi luar biasa dalam suatu perlombaan, harus menelan pil pahit hasil ujian nasional karena nilai ujian nasional pada mata pelajaran yang lainnya belum mencapai standar kelulusan. Hal ini yang kemudian memang harus dikaji ulang oleh pemerintah.
Ujian Nasional secara tidak langsung memaksa siswa untuk mau tidak mau terbawa dalam keseragaman. Potensi dan talenta siswa yang berbeda satu dengan lainnya dipaksa untuk mampu menjalani proses homogenitas kompetensi dengan mengacu pada standar nilai kelulusan. Karena sudah diputuskan lewat Permendiknas dan diperkuat dengan Prosedur Operasi Standar (POS) oleh BSNP, mau atau tidak, kriteria kelulusan yang tidak berpihak kepada keberagaman potensi siswa didik semacam itu akan tetap digunakan sebagai acuan penentuan kelulusan tahun ini. Itu artinya, pelaksanaan UN tahun ini agaknya juga masih sulit menghindari kecurangan dan kebohongan.
Siswa yang pandai dan kemudian mempertahankan idealismenya untuk tidak ikut melakukan praktek kecurangan sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar rekan-rekannya ataupun sebagian besar siswa-siswi di Indonesia, justru mendapat cibiran dari mereka. Karena dianggap sok suci dan sebagainya. Padalah inilah yang kemudian dibutuhkan oleh bangsa kita hari ini. Nilai-nilai kejujuran menjadi barang langka yang harus tetap dijaga eksistensinya agar tidak terjadi kepunahan massal terhaap hakikat nilai sebuah kejujuran. Sudah pasti UN akan menjadi momen yang tepat sebagai “starting point” peningkatan mutu pendidikan jika idealisme ini bisa tetap dipertahankan.
Seyogyanya dengan segala dinamika yang terjadi saat pelaksanaan Ujian Nasional kita semua tetap berharap bahwa pengumuman Ujian Nasional esok hari akan menjadi bahan refleksi bagi kita semua, apakah kelulusan UN esok memang murni sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh siswa yang diluluskan atau tidak. Dan kita semua harus bangga dengan sekolah maupun siswa siswinya yang tetap konsisten mempertahankan idealismenya. Karena sejatinya merekalah siswa-siswi yang telah lulus sesungguhnya.

Selamat Datang Di Blog Lego Sang Creator



Selamat datang di 
my Blog 
Lego Sang Creator