MARI BELAJAR BERSAMA#3 - MENGENAL TEKNIK PENULISAN CERPEN
Habiburrahman El Shirazy*
Menulislah pada saat awal dengan hati.
Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran.
Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir,
melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan.”
- William Forrester -
I. Pengertian Umum Cerpen
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin
–Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita
pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid
dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita
pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang
dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak,
dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH,
mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita
rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak
sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut
tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir
semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang
biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe,
sangat cocok menjadi panduan- karena secara teoritis ia memenuhi
kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia dapat diaplikasikan. Pendapat
yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:
Pertama,
cerita pendek harus pendek. Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca
sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis
bioskop. Disamping itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus
hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus ketat, tidak
mengobral detail, dialog hanya diperlukan untuk menampakkan watak, atau
menjalankan cerita atau menampilkan problem.
Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik. Menurut Poe ketunggalan
pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu garis dari awal sampai
akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa
digresi.
Ketiga, cerita pendek harus ketat dan padat.
Setiap detil harus mengarus pada pada satu efek saja yang berakhir pada
kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat – sebagai
salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis.
Keempat,
cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya
benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Itulah sebabnya
dibutuhkan suatu ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan
gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang
hidup.
Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang
selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti
masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa
cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain
lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di situ.
Rumusan Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya yang cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.
II. Karakteristik Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin, dalam Menulis Secara Populer
menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan singkat. Sedangkan
cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu
cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah? Menjawab hal
ini, rumusan Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang
berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The Liang Gie).
Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy Tiana
Rosa).
Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan
singkat. Di dalam cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang
memegang peranan tidak banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau
bisa juga sampai sekitar empat orang paling banyak. Itu pun tidak
seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh itu diungkapkan di dalam
cerita. Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita itu pun hanya satu.
Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai, konflik itu
sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.
Karena
pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam
cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita. Tidak ada kelebatan-kelebatan
pemikiran tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah.
Peristiwanya singkat saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun
tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan adanya perubahan nasib
tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita berakhir. Dan ketika konfik
yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan
kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.
Dan karena jumlah
tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya tidak begitu
lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka –diatara
karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar
1-3 tempat saja.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan
sebuah novel. BUKAN PULA sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu
adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap: tidak ada, tidak perlu, dan
harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.
Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik,
yaitu perbenturan kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat
nyata ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti suatu cerpen.
III. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen
1. Tema
Yaitu
gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi
sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa
pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama
sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian
cerita; dasar tolak untuk bercerita.
Tidak mungkin sebuah cerita
tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak disampaikan
pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah
kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si
pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut
menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya
menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca
untuk menyikapi dan menyelesaikannya.
Secara tradisional, tema itu
bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 1. Kejahatan pada
akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2. Persahabatan sejati adalah
setia dalam suka dan duka. 3. Cinta adalah energi kehidupan, karena itu
cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya.
Cerpen
yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang
kompleks. Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang
mendominasi masalah lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju
Kapas Putih” karya Satyagraha Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman
“aku” di negeri asing dengan baik sekali, tetapi secara tajam cerpen ini
menyorot masalah moral. Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat
serong karena pertimbangan moral.
2. Alur atau Plot
Yaitu
rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek
tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang
menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah
suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu.
Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua
aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau, secara
lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto- sebab-akibat
yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan
ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek
harus berdasarkan hukum sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu
pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh
populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut
jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam
cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian
ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa
dipahami. Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis,
yaitu:
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot lembut,
jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun
tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di
telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.
Adapun
jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot
tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
3. Penokohan
Yaitu
penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan
nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern,
berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya
menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang
didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa
dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada
dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan
sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan
dengan berbagai cara, diantaranya melalui:
- Tindakan, ucapan dan pikirannya
- Tempat tokoh tersebut berada
- Benda-benda di sekitar tokoh
- Kesan tokoh lain terhadap dirinya
- Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
4. Latar atau Setting
yaitu
segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu
cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan
plot cerita, karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk
menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau
latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan
tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil
setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi
yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya
dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak
dan karakter tokoh.
5. Sudut Pandangan Tokoh
Diantara
elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek
adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut
pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam
pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat
dengan teknik bercerita.
Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
1. Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang
pertama. Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini
yang harus diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan
“saya”nya.
2. Sudut pandang orang ketiga,
biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga
dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan “Nurul” misalnya.
3. Sudut pandang campuran,
di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan
tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan
tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan
kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik menggunakan teknik ini.
4. Sudut pandangan yang berkuasa.
Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk
menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini
membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk
cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang
menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan
berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
IV. Anatomi Cerita Pendek
Setelah
mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur
yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat
siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya
anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita.
Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun
jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki
anatomi sebagai berikut:
1. Situasi (pengarang membuka cerita)
2. Peristiwa-peristiwa terjadi
3. Peristiwa-peristiwa memuncak
4. Klimaks
5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Penyelesaian
Cerpen
yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang
seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur
cerita ini. Helvy Tiana Rosa selama menjadi pimred Annida dan melihat
kelemahan mereka itu dan berkomentar,
“Cerpenis-cerpenis
pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita.
Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis
pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para
pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan.
Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih
belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan
pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya
dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung
sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu
sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri.
Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan
konflik tersebut.”
V. Agar Sebuah Cerpen Memiliki Daya Pikat
Agar cerpen ada memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan baik-baik:
1.
Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide
cerita semisal “Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang
kurang tepat, karena akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik
pembaca.
2. Buatlah lead, paragraf awal
dan kalimat penutup cerita yang semenarik mungkin. Alinea awal dan
alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah cerpen. Alinea awal
berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan masuk dalam cerita
yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci kesan yang
disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena cerpen
yang memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu
dikenang.
3. Buat judul cerita yang bagus dan menarik.
Sebagaimana buku, cerita yang bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah
satu penyebabnya adalah kalimat pembuka yang buruk dan judul yang mati,
tidak menggugah rasa ingin tahu pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul:
Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat.
Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya.
4.
Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang
menyangkut penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan
penyajian cerita secara utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal
cerita. Untuk menghindari kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita
gunakan teknik:
-in medias res (memulai cerita dari tengah)
-flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)
Anton Chekov menyarankan : “Lipat dualah halaman pertama cerpenmu, lalu robek dua dan buang sobekan yang sebelah atas.”
5. Buatlah suspense,
kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan faktor
kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah
ditebak.
6. Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai saya tidak pernah mengalir ke hulu.” Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian
terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu
pun baris dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada kenyataan.”
7.
Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya
sendiri, jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya
berlebihan dan kata-kata yang terlalu muluk.
8.
Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi
tetap tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen
yang telah anda selesaikan.
Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena menulis cerpen ingatlah pesan J.K. Rowling, siapa tahu ada manfaatnya, Mulailah menulis apa saja yang kamu tahu. Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Lalu saat menulis cerpen ingat pesan Edgar Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tak boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan.
Selamat menulis cerpen!
Singopuran-Kartasura, 3 Februari 2005
Jam di komputer menunjukkan 04:00
*COPAS DARI TAMAN SASTRA
No comments:
Post a Comment